Penyebab Nilai SV30 Tinggi dan Cara Mengatasinya (trouble proses aerasi wwtp)
Assalamu'alaykum
teman-teman pada artikel kali ini aku sharing beberapa kemungkinan yang
menyebabkan nilai SV30 tetap tinggi padahal flok clarifier sudah sering dikuras.
Tonton juga penjelasannya pada video berikut:
https://youtu.be/hUSfIkPpMJA (Penyebab nilai SV30 Aerasi tinggi dan cara mengatasinya)
https://youtu.be/LJDNWfNTIvI (Cara Efektif Menurunkan Nilai MLSS dan SV30 Aerasi)
https://youtu.be/nU0Ir68gwoE (Penyebab nilai SVI Aerasi tinggi )
Mengapa
nilai SV30 tetap tinggi, padahal flok clarifier sudah sering dikuras?
Banyak
kemungkinan faktor yang dapat menyebabkan nilai SV30 tetap tinggi, padahal
nilai SV30 biasanya ditargetkan hanya 30-50% atau 300-500 mL/L. Berikut
beberapa penyebab SV30 aerasi tetap tinggi:
1.
MLSS yang tinggi
(Menyesuaikan atau menurunkan standar MLSS Aerasi)
2.
Nilai DO yang rendah
(Menyesuaikan standar DO)
3.
Debit inlet aerasi yang
fluktuatif dan/atau over (Mengatur rentang debit inlet Aerasi)
4.
COD inlet yang tinggi
(Maksimalkan proses pre treatment untuk mengurangi COD inlet
Aerasi)
5. pH inlet aerasi yang tidak netral (Proses netralisasi tidak ada atau kurang maksimal)
1. MLSS
yang tinggi (Menyesuaikan atau menurunkan standar MLSS Aerasi)
MLSS
yang tinggi biasa dianggap sbg kondisi yang bagus bagi bak aerasi, padahal
jumlah MLSS juga harus disesuikan dengan kondisi aerasi, hal ini berpengaruh
pada kinerja clarifier dan nilai SV30. Nilai MLSS yang tinggi berpotensi
menyebabkan sludge bulking yang parah pada clarifier meskipun flok clarifer sering
dikuras, bulking akan tetap muncul dalam jangka waktu yang pendek. Selain itu
juga nilai MLSS yg tinggi membuat nilai SV30 terlihat tinggi, tidak semua bak
aerasi harus memiliki rentang nilai MLSS yang tinggi misalkan 3.000-10.000 ppm.
Terkadang nilai MLSS 1500-2000 atau bahkan 1000 ppm sudah cukup untuk
mendegradasi COD inlet aerasi 1500-2500 ppm.
2. Nilai
DO yang rendah (Menyesuaikan standar DO)
DO yang rendah sangat sering terjadi sehingga proses degradasi
limbah pada bak aerasi menjadi kurang optimum. Nilai DO yang rendah membuat
proses degradasi limbah menjadi kurang maksimal, hal ini dapat dilihat dari
outlet aerasi yang masih berbau dan warna supernatant pada imhoff cone yang
keruh. Flok aerasi yang terbentuk dalam kondisi ini biasanya sangat halus
dan ringan sehingga sulit mengendap yang dapat dilihat
dari nilai SV30 yang tinggi.
Proses degradasi limbah pada bak aerasi membutuhkan kadar
DO yang cukup, biasanya nilai DO dijaga pada angka 2-5 ppm tergantung pada situasi
dan kondisi WWTP saat ini. Nilai DO dijaga pada rentang tersebut untuk
memastikan bakteri mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Meskipun nilai DO
menunjukan angka yang cukup tinggi, hal tersebut tidak menjamin bahwa DO sudah
mencukupi kebutuhan bakteri aerasi. Outlet udara blower yang tidak diberikan
diffuser disc, ecorator, atau komponen yang setara (komponen tersebut membuat
ukuran gelembung udara menjadi sangat halus sehingga memperbesar kemungkinan
oksigen untuk larut di dalam air limbah) ukuran gelembung udara yang
dihasilkan cenderung besar dan menurunkan waktu kontak antara udara dengan
limbah. Hal tersebut memaksa kita untuk meningkatkan jumlah DO dengan cara
menambah unit blower yang beroperasional (menyalakan lebih dari satu unit blower
untuk operasional selama 24 jam). Gelembung udara yang besar dapat menyebabkan
bakteri sulit untuk mendegradasi limbah bahkan sulit untuk tumbuh sehingga limbah
pada bak aerasi akan tetap keruh dan berbau.
Nilai DO yang tinggi tidak selalu menandakan proses
pada bak aerasi berjalan dengan lancar. Muncul pertanyaan apakah DO pada bak
aerasi sudah digunakan oleh bakteri atau tidak?
Karena nilai DO yang terukur pada DO meter merupakan sisa oksigen terlarut yang berlebih atau tidak digunakan oleh bakteri, selain itu juga ada istilah over aeration sehingga perlu dilakukan trial dan pengamatan untuk mencari rentang min dan max nilai DO pada aerasi.
3. Debit
inlet aerasi yang fluktuatif dan/atau berlebihan (Mengatur rentang debit inlet
Aerasi)
Debit
inlet aerasi mempengaruh jumlah beban pencemar (COD volumetric load) yang akan
diolah oleh bakteri aerasi. Debit yang fluktuatif akan membuat bakteri
kesulitan beradaptasi (mempengaruhi kemampuan bakteri dalam mendegradasi limbah)
untuk mengolah limbah (debit limbah yang awalnya rendah dan naik tiba-tiba akan
dianggap shock load atau over load oleh bakteri sehingga
aerasi masih keruh dan berbau bahkan sehingga nilai SV30 menjadi tinggi bahkan
flok tidak bisa mengendap) karena debit yang sangat fluktuatif mempengaruhi waktu
tinggal limbah pada bak aerasi (waktu yang digunakan bakteri untuk mendegradasi
limbah sampai limbah tersebut cukup jernih dan tidak berbau). Semakin tinggi
debit limbah maka waktu tinggal limbah pada bak aerasi akan semakin berkurang,
dan begitupula sebaliknya semakin rendah debit limbah maka waktu tinggal limbah
pada bak aerasi akan semakin bertambah.
Debit
limbah sebaiknya diatur dengan rentang ±30 m³/day, misalkan saja debit olahan
limbah ada pada angka 300 m³/day maka rentang kurang dan lebih pengolahannya
270 dan 330 m³/day. Debit limbah sebaiknya diatur agar waktu tinggal pada bak
aerasi minimal 2 hari (jika memungkinkan dengan memperhatikan situasi dan
kondisi WWTP beserta produksi yang sedang berjalan) dengan cara membagi volume
bak aerasi dengan debit inlet limbah pada bak aerasi dengan rumus t = V. Bak aerasi/Q
inlet limbah.
Q:
Debit limbah (m³/day)
V:
Volume (m³)
t:
Waktu (day atau hari)
4. Kemudian
faktor yang terakhir yaitu COD inlet yang tinggi (Maksimalkan proses pre
treatment untuk mengurangi COD inlet Aerasi)
Efisiensi
removal COD pada bak aerasi berbeda-beda, berkisar antara 60-90% tergantung
dari COD inlet yang masuk pada bak aerasi dan kondisi yang ada. COD inlet yang
tinggi membuat bakteri harus bekerja ekstra dalam mendegradasi bahan pencemar,
jika COD inlet aerasi berlebihan justru akan menjadi racun bagi bakteri yang
menyebabkan regenerasi bakteri terhambat. Bakteri yang seharusnya melewati fase
stasioner atau fase tua yang bisa kita lihat sebagai flok berwarna coklat tua
malah mati lebih cepat dan hanya menyisakan bakteri muda yang kita lihat
sebagai flok yang berwarna coklat muda. Meskipun terdapat bakteri muda,
regenerasinya menjadi lebih lambat yang menyebabkan nilai MLSS aerasi turun
secara drastis. Kondisi seperti ini bisa kita jumpai dengan ciri-ciri limbah
pada aerasi berwarna coklat muda, MLSS yang rendah akan tetapi nilai SV30 tetap
tinggi.
Salah
satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini, yaitu
memaksimalkan proses pre treatment sebelum limbah masuk pada bak aerasi.
Dissolved Air Floatation System atau yg biasa disingkat sebagai DAF sangat
sering digunakan sebagai unit dalam proses pre treatment. COD removal dari Unit
berkisar antara 20-40% atau mengurangi COD sampai batasan tertentu sebelum diolah
pada bak aerasi, pada unit ini bisanya terdapat beberapa proses yaitu
netralisasi untuk mentralkan pH limbah yang akan masuk pada bak aerasi,
koagulasi untuk mengurangi TSS, flokulasi untuk memperbesar ukuran flok, dan
floatasi untuk mengapungkan flok yang terbentuk yang nantinya akan diolah pada
unit pengolahan lumpur.
Ok teman-teman sekian sharing aku pada artikel kali ini lebih dan kurangnya mohon maaf, jika teman-teman ingin bertanya bisa ditulis pada kolom komentar, jangan lupa like dan share jika teman-teman suka.
Jasa konsultasi seputar WWTP bisa hubungi
kurogiriaoyama@gmail.com
pricelist akan diberikan ketika sudah mengirimkan email, konsultasi akan dilanjutkan via WA jika sudah deal terkait harga
Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh
Komentar
Posting Komentar